Rabu, 21 Februari 2018

" radikalisme "




karena santri harus bisa melawan ide ide tak berpertimbangan dalam pembangunan khilafah, dengan berbekal pengetahuan yang masih taraf dangkal, mereka mengelu elukan bahwa " islam di indonesia itu kurang, masih belum final " , padahal dengan hanya berpegangan pada kaidah fiqh saja kita sudah dapat mengambil kesimpulan bahwa ini sudah final, sudah aslah, sudah pas dalam konteks kita .

dengan demikian admin sekedar mengingatkan saja , we are nasionalis and agamis !


( sumber: lirboyo.net )

Radikalisme semakin menjadi bahaya laten, seolah semakin sulit dijinakkan karena membawa-bawa nama islam itu sendiri. Radikalisme ibarat berbaur ditengah pemahaman yang kompleks bahwa dulupun katanya “islam juga menyebar dengan pedang”.  Dengan argumen yang tidak dipahami secara kontekstual ini, citra islam semakin tepuruk sebagai agama yang identik dengan kekerasan dimata pemeluk agama lain. Mengembalikan citra islam harus dimulai dari masyarakatnya, dimulai dari individu terkecil, kita sendiri. Kita membentuk pemahaman bahwa islam cinta kedamaian, lalu memperkuat pemahaman tersebut, dan akhirnya menyebarkannya.
Untuk mengurai “konsep baru” tatanan jihad modern yang diusung kelompok radikal, harus kita tinjau baik-baik, bahwa dalam konteks jihad ala mereka sekarang, yang identik dengan proyeksi mendirikan khilafah dan memaksakan diri “kembali ke sejarah” dengan membawa kembali konsep-konsep lama yang sebenarnya jika diterapkan sekarang justru membawa mafsadah, kerusakan dalam bahkan sampai pada skala nasional, seperti memaksakan hudud, hukuman tradisional islam, yang parahnya justru ditangani sendiri, bukan dipasrahkan kepada pemerintahan yang sah. Atau memaksakan “adanya kembali perbudakan” kepada pemeluk agama selain islam.
Sebenarnya hal ihwal tentang “diangkatnya” syari’at islam dari muka bumi sudah jauh diprediksi oleh Nabi Muhammad SAW semasa sugeng beliau, beliau pernah bersabda:
تشبثت بالتي تليها و أول نقضها الحكم و أخرها الصلاة
Tali ikatan Islam akan putus seutas demi seutas. Setiap kali terputus, manusia bergantung pada tali berikutnya. Yang paling awal terputus adalah hukumnya, dan yang terakhir adalah salat.” (HR. Al-Hakim)
Satu persatu hukum syari’at yang dulu ada pada zaman nabi akan tidak ditemukan dan diamalkan lagi dikurun-kurun setelahnya. Perlahan-lahan, hingga yang terakhir ditemukan masih diamalkan  adalah salat. Menyikapi hal ini, KH. Maimun zubair menegaskan, “Hukum-hukum qur’any dan syari’at yang sudah tak mampu lagi kita amalkan tidak seyogyanya untuk diubah oleh kita sendiri, apalagi dengan mengaku-ngaku berijtihad dan beristinbaht. Kewajiban kita, hanyalah tetap mengamalkannya semampu kita untuk kita sendiri, keluarga kita, pembantu, dan orang-orang yang berada dibawah kekuasaan kta.[1] Beliau lalu mengutip penggalan surat Al-Baqoroh ayat 286, Allah SWT tidak mungkin membebankan kepada kita apa yang tidak mampu kita lakukan.
Lebih khusus, tema permasalahn jihad seperti yang mereka usung, terkesan terlalu memaksakan untuk dipraktikan sekarang. Meskipun tingkat prioritasnya fardhu kifayah, namun kita juga sebenarnya bisa memaknainya bukan dari sudut pandang tekstual, namun sudut pandang kontekstualnya. Mengartikan bahwa jihad adalah dengan dakwah lisan merupakan salah satu contohnya. Jika terlalu memaksakan diri dengan tindakan ceroboh yang bersifat merusak dan mengganggu stabilitas kemananan, justru hanya akan timbul bahaya lain yang lebih besar dari arah yang berbeda. Sangat bertentangan dengan konsep kaidah fiqh Dar’ul mafasid muqodddam ‘ala jalbil mashôlih, upaya menolak kemafsadahan lebih diutamakan daripada tindakan yang menuai kemaslahatan. Masih dalam satu pembahasan, kata KH. Maimun Zubair, “Mengupayakan jihad, hal ini termasuk salah satu hukum fardu-fardhu kifayah dalam agama islam. Dan kita yakini keberadaannya hingga hari kiamat. Akan tetapi, karena sulit dan tidak memungkinkannya untuk dilakukan di zaman seperti sekarang, hilanglah esensi hukum fardhu kifayahnya. Hal ini disebabkan tidak adanya lagi, imam ataupun amir yang mengomandani tentaranya untuk berjihad fî sabîlillâh dan menjadi barisan tentara kaum muslimin.[2]
Konsep Mashlahat, menangkal radikalisme
Islam tidak pernah mengajarkan radikalisme. Maqoshid al-syar’iyyah sangat menakar konsep maslahat yang jauh dari konsep yang ekstrem. Dari tema-tema dan pembahasan yang ada, konsep maslahat sangat lentur dan bisa beradaptasi dengan situasi. Sehingga memungkinkaan untuk diputuskan hal terbaik. Bukan hanya sekedar memaksakan diri dengan tendensi, yang dipahami secara terbatas dan literal. Kalau kita melihat contoh-contoh parsialnya, dalam kasus furu’iyyah fiqh akan kita temukan betapa islam memperhatikan betul kemaslahatan hambanya. Sesuai tujuan syari’at yang membawa tatanan sosial maju, beradab, dan bermartabat. Syaikh ‘Izzuddin bin ‘Abd Al-Salâm[3], seorang tokoh kenamaan islam yang bergelar Sulthânul ‘Ulamâ dari Mesir menulis dalam kitabnya, “Segala apa yang ada dalam syari’at adalah mashlahat, adakalanya menolak kemafsadahan, adakalanya mendatangkan kemaslahatan  ketika engkau mendengar Allah berfirman, ‘wahai orang-orang yang beriman’ maka renungkanlah baik-baik wasiat-Nya setelah panggilan yang diserukan-Nya. Maka taka akan kau temukan selain kebajikan yang -Ia dorong untuk kau lakukan, atau keburukan yang -Ia larang untuk kau lakukan atau kedua-duanya.[4]
Beliau memiliki sebuah kitab tentang konsep dan kajian mashlahat. Sebuah diskursus falsafi tentang maqoshid syar’iyyah. Dalam kajiannya beliau membuat gebrakan untuk tidak memakai kaidah fiqh yang banyak dalam upaya mengakomodir fiqh, seperti kajian-kajian para pendahulu beliau. namun cukup dengan sebuah patron, i’tibarul mashalih wa dar’ul mafasid, mempertimbangkan kemaslahatan dan menolak kemafsadahan. Dengan satu kaidah ini, dianggap sudah cukup untuk mengakomodir maqoshidus syari’ah yang bercita-cita untuk menggapai kesejahteraan umat manusia (masholihil anam).
Ringkasnya, segala apa yang diperintahkan -Nya dan rasul-Nya tidak begitu saja berhenti pada ajakan untuk menaati tuntunan dan menjauhi larangan. Tentu saja akan ada maksud tersembunyi  dalam beberapa hal. Sekedar menyebut beberapa contoh, diwajibkannya melaksanakan zakat bagi umat islam memiliki maksud tersendiri untuk pengentasan kemiskinan. Lalu, agar saat merayakan hari raya  semua umat muslim dapat sama-sama memiliki “suguhan”. Maka dari itu, zakat diharuskan memakai -dalam istilah fiqhnya –qȗtul balad, makanan pokok didaerah masing-masing. Bukannya setiap orang harus mengeluarkan kurma untuk zakat. Lalu dilarangnya berzina untuk memurnikan garis keturunan, dan dilarangya menikahi kerabat dekat supaya terhindar dari memiliki keturunan yang terbelakang mental.
Mencontoh kisah lama sahabat besar Umar bin Khattab RA yang pernah tidak memberlakukan hukuman potong tangan bagi para pencuri di masa-masa krisis, kita tentu sedikit dapat lebih mengerti jikalau maslahat juga akan dipertimbangakan dalam urusan agama. Sebab islam tidak selalu hanya berisi aturan-aturan tegas yang mengikat. Sewaktu nabi Muhammad SAW tengah dalam perjalanan, pernah beliau menganjurkan para sahabatnya tidak berpuasa. Dianjurkannya berbuka, bahkan belau sendiri yang memberikan contoh.
Allah SWT telah memerintahkan hamba-Nya untuk mendirikan kemaslahatan-kemaslahatan yang beragam. Akan tetapi sebagian diantaranya dikecualikan untuk tidak diperintahkan karena beberapa hal. Ada kalanya karena masyaqoh, keberatan dalam menjalankannya, atau terjadi mafsadah ketika menjalankannya. Allah juga melarang mafsadah-mafsadah yang beragam. Dan sebagian dikecualikan entah karena masyaqoh atau ada suatu maslahat tersendiri.[5]
Sejenak merenung, islam jangan pernah dipahami secara sekilas. Karena ia memiliki makna dalam yang jauh untuk diungkapkan dengan kata-kata. Perlahan-lahan, kita akan tahu cara yang terbaik untuk bertindak dan bersikap menghadapi zaman yang kian berkembang dengan pemahaman utuh tentang islam.[]
[1] Ulama Al-Mujaddidun Hal. 14.
[2] Ibid. Hal. 12
[3] Syaikh ‘Izzuddin bin ‘Abdissalam, memiliki nama lengkap Syaikh Abu Muhammad ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdissalam (w. 660 H). Ulama dari Mesir yang bermadzhab syafi’iyyah dan mumpuni dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti tafsir, fiqh, ushul fiqh, dan gramatika arab. Beliau dikenal sebagai sulthanul ‘ulama bin nash rasulillah. Saking luasnya ilmu penguasaan ilmu beliau, Jamaluddin ibn Hajib sampai mengatakan kalau ilmunya mengungguli Imam Al-Ghazali.
[4] Qowa’idul Ahkam fi Masholihil Anam Hal. 11
[5] Ibid. Hal. 7

" waktu "

Syaikh ‘Ishomuddin bin Yusuf al-Balkhy tiba-tiba sangat buru-buru. Pakar fikih kenamaan madzhab Hanafiyyah ini baru saja mendengar sebuah permasalahan tentang ilmu yang baru diketahuinya. Spontan beliau membeli sebuah pena. Karena beliau sadar waktu terus berjalan tak akan kembali. Dan kesempatan yang sama untuk mencatat faidah tersebut hampir mungkin tak akan terulang.
Sepenggal kisah tersebut mengingatkan kita dengan ungkapan tak asing bagi para sufi: waktu umpama pedang. Ia tak hanya tajam, tapi setiap saat bisa “memangsa” siapa saja yang tak benar-benar bisa memanfaatkannya. Seumpama pisau bermata dua.
Kita adalah sebuah keniscayaan, untuk melewati waktu tanpa sedetikpun bisa menghentikannya. Barangkali sesuatu yang paling berharga yang kita miliki saat ini adalah waktu. Sebab waktu yang kita miliki hari ini memuat kesempatan-kesempatan yang hampir-hampir tak mungkin terulang esok. Sebab waktu yang kita miliki hari ini bukanlah yang akan kita miliki esok hari, jika kita punya tentunya. Karena kapan nafas berhenti tak ada yang tahu.
Allah SWT tidak hanya sekali menggunakan sumpah atas nama waktu dalam kitab suci. Di beberapa mukadimah surat, Ia sebutkan demi masa, demi waktu terbitnya mentari, demi waktu fajar, atau demi malam hari. Sebuah bukti tegas yang lebih dari cukup untuk membuat kesimpulan bila waktu tak ternilai harganya. Sebab Allah SWT tak akan bersumpah sia-sia untuk hal yang “tak berguna”.
Barangkali filosofi tentang “waktu paling berharga” yang muncul disela-sela tafsiran ayat pertama surat al-‘Ashr oleh Imam Fakhr al-Razi patut kita renungkan kembali. Apa yang diungkapkan beliau dengan penyampaian yang hiperbolik itu ada benarnya. “Sisa hidup seseorang tak ternilai harganya. Andai kata engkau berdosa selama seribu tahun, kemudian disaat-saat terakhir hidupmu kau bertobat, maka balasannya adalah masuk surga untuk selama-lamanya. Maka kau akan tahu, saat-saat terbaik dalam hidupmu adalah saat-saat terakhir itu.”[1] Tentu saja, sebab andai saja beberapa jam terakhir itu bukan digunakan untuk bertobat, ceritanya akan lain.
Apa yang diungkapkan Imam al-Razi bukan dongeng. Kisah semacam itu pernah terjadi. Dahulu, Amr bin Uqaisy RA –walau tidak sampai berusia seribu tahun—adalah salah satu sahabat beruntung yang masuk surga sebelum sempat mendirikan salat satu rakaatpun.  Beliau beriman kepada Rasul saat terjadinya perang Uhud. Dibalik baju zirah, beliau wafat dalam keadaan beriman, hanya berselang tak berapa lama setelah hidayah datang datang ke lubuk hatinya. Yang patut kita garis bawahi adalah, alangkah berharganya waktu sekian jam terakhir dalam hidup sosok sahabat Nabi tersebut. Tentu saja sebab waktu itu digunakan semestinya. Dan kisah kita semua seharusnya sama.
Waktu adalah salah satu dari nikmat yang tak mampu kita “hitung”. Namun banyak orang dengan mudah sering melupakannya. “Dua nikmat yang banyak manusia merugi olehnya: kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari) Kesehatan, karena tak digunakan seyogyanya, demikian juga waktu senggang: banyak yang terbuang percuma. Allah SWT Maha Benar, setelah sumpah demi masa –dalam surat al-‘Ashr—Ia melanjutkan firman-Nya, “kecuali orang-orang yang beriman, dan beramal baik”. Dalam artian, menggunakan waktu semestinya.
Kalau ingin tahu lebih jauh, tanyakan betapa berharganya waktu pada orang-orang yang diambang eksekusi: mereka yang esok pagi hidupnya diujung bedil. Atau pada penghuni neraka yang berteriak meronta, “Tuhanku, kembalikan aku ke dunia. Janjiku akan berbuat kebaikan”. Tapi kita sudah tahu itu jerit yang sia-sia, sebab Ia tak peduli lagi pada mereka, dan matahari yang sama tak akan terbit dua kali.
“Waktu menyimpan banyak keajaiban. Ia membuat orang memiliki kebahagiaan dan kesedihan, sehat dan sakit, kaya dan miskin. Bahkan ada yang lebih menakjubkan saat bicara waktu: akal tak mampu menghukumi ketiadaannya. Karena bagaimanapun juga waktu terbagi. Menjadi tahun, menjadi bulan, menjadi hari, dan menjadi jam. Lantas bagaimana mungkin ia tiada?
Tapi akal juga tak mampu menghukumi kalau ia ada. Karena masa pada detik ini tak bisa terbagi-bagi, sementara masa lalu dan masa depan hanyalah kealpaan. Lantas bagaimana mungkin ia ada?” –Fakhr al-Razi (1150 M-1210 M).



[1] Tafsir Mafatihul Ghaib. Juz 32 Hal. 84 Darul Fikr. 1981

biografi imam assyafi'i rodiallahu anhu

••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••

 

 

Menyadari dalam waktu dekat ini , safari ramadhan siap menguji kelayakan kita, admin hadirkan biografi imam syafi'i rodyliallahu anhu, yang admin ambil dari situs " www.lirboyo.net " ,dengan tujuan supaya teman teman proklamator mudah untuk mencari bahan yang berbobot guna disampaikan untuk orang orang diluar pesantren, dengan harapan juga semoga kita atau setidaknya anak cucu kita kelak dapat meniru beliau. Aminm.

.

.

.

Kita mengenal Imam Syafi’i (Muhammad bin Idris bin Syafi’, wafat 820 M) sebagai tokoh besar pendiri madzhab yang saat ini sedang kita anut, madzhab syafi’iyyah. Salah satu madzhab terbesar yang hingga kini masih bertahan. Beliau membangun pondasi-pondasinya lebih dari seribu tahun lalu, dan hingga kini masih tetap kokoh berdiri. Nama Imam Syafi’i  begitu tenar tidak hanya sebatas itu, beliau memiliki catatan keilmuan dan riwayat yang “sulit ditiru” oleh generasi-generasi selanjutnya. Tapi dibalik itu, jauh sebelum beliau terkenal dengan penguasaan fikihnya, dulu justru beliau lebih tertarik pada disiplin gramatika. Seni tentang bahasa Arab, literatur, sejarah bangsa-bangsa Arab, dan tentu saja, syair. Beliau terkenal sangat fasih, dan menjadi rujukan banyak orang tidak hanya dalam masalah fikih saja, namun jika ada kemusykilan tentang gramatika, bertanya kepada Imam Syafi’i adalah pilihan yang tepat. “Bahkan imam Malik saja kagum akan bacaan beliau, karena beliau orang yang sangat fasih”, komentar Imam Ahmad bin Hanbal

 

kala Imam Syafi’i kecil membaca kitab Al-Muwatho’ langsung dihadapan penyusunnya, Imam Malik bin Anas.Imam Syafi’i dikenal sebagai salah satu ulama besar yang paling hebat mengolah kata-kata lewat syair. Syair-syairnya khas, tidak seperti kebanyakan penyair tulen lain.

 Kita mungkin tak akan pernah menemukan syair-syair Imam Syafi’i yang bercerita tentang alangkah indahnya hidup didunia ini, atau tentang tema apapun yang agak “pendek renungan”. Namun kita lebih bisa temukan untaian syair beliau sebagai orang yang memiliki sarat keilmuwan, sarat hikmah dan teladan. Kebanyakan syair beliau, yang terkodifikasikan, berbicara tentang budi pekerti, adab, dan nasihat-nasihat.وَلاَ حُزْنٌ يَدُومُ وَلاَ سُرورٌ ** ولاَ بؤسٌ عَلَيْكَ وَلاَ رَخَاءُTak ada kesedihan yang kekal, tak ada pula kebahagiaan yang abadi. Tak ada kesengsaraan yang bertahan selamanya, demikian halnya dengan kemakmuran.

 

Bahkan sampai akhir hayatnya, tatkala Imam Muzani muridnya datang berkunjung, beliau kala itu masih terbaring sakit diatas tempat tidur. Imam Syafi’i menyampaikan sebuah harapan, dan pengakuan. Dalam bentuk syair,إلـيــك إلـــه الـخـلـق أرفــــع رغـبـتــي # وإن كـنـتُ يــا ذا الـمــن والـجــود مـجـرمـاولـمــا قـســا قـلـبـي وضـاقــت مـذاهـبــي # جـعـلـت الـرجــا مـنــي لـعـفـوك سـلـمــافـمـا زلــتَ ذا عـفـو عــن الـذنـب لــم تـزل # تــجــود و تـعــفــو مــنـــة وتـكــرمــاألــســت الــــذي غـذيـتـنـي وهـديـتـنــي # ولا زلــــت مـنـانــا عــلـــيّ ومـنـعـمــاعـسـى مــن لــه الإحـســان يـغـفـر زلـتــي # ويـسـتــر أوزاري ومــــا قــــد تـقــدمــاKupersembahkan kepada-Mu Tuhan sekalian makhluk akan harapanku. Sekalipun aku seorang yang berdosa wahai yang Maha Pemberi dan Maha Pemurah.Bilamana keras hatiku dan terasa sempit perjalanan hidupku, kujadikan rayuan dariku sebagai jalan untuk mengharapkan ampunan-MuBilamana Engkau yang memiliki ampunan menghapuskan dosa yang terus menerus ini. Karunia-Mu dan ampunan-Mu adalah merupakan rahmat dan kemuliaan.Bukankah Engkau yang memberi aku makan serta hidayah kepadaku. Dan janganlah Engkau hapuskan karunia, anugerah dan nikmat itu kepadaku.Semoga orang yang memiliki ihsan mengampunkan kesalahanku. Dan menutup dosa-dosaku serta setiap perkara yang telah lalu.Imam Syafi’i kecil memang memiliki ketertarikan akan bahasa Arab. Jauh sebelum rihlah ilmiahnya “benar-benar dimulai”. Ketertarikan ini menjadikan sebuah motivasi besar untuk beliau lebih menguasai bahasa tersebut. Imam Syafi’i kecil bahkan sampai tinggal sementara waktu di pemukiman Bani Hudzail. Suku yang kemampuan berbahasa Arabnya masih sangat asli. Belum tercampur oleh dialek-dialek asing. Pada akhirnya, ketertarikan inilah yang kelak menjadi bekal penting beliau kala menjadi tokohmujtahid, untuk menggali hukum-hukum islam langsung lewat Alquran dan Al-Hadis. Sebuah kapasitas yang memang hanya dicapai oleh orang-orang yang juga mengerti betul apa itu bahasa Arab.Menurut cerita Mus’ab bin Abdullah Al-Zubairi, tatkala Imam Syafi’i kecil, yang saat itu telah mahir dan terbiasa mengolah syair naik kendaraan bersama seseorang, Imam Syafi’i kecil menyenandungkan sebuah syair. Dan tak disangka-sangka, tiba-tiba orang dibalik Imam Syafi’i kecil tadi justru memukulnya dengan cambuk.“Orang sepertimu, hilanglah harga dirinya melakukan hal-hal seperti ini.” Kata orang tersebut. Tentu maksudnya, adalah kegemarannya akan bersyair. “Kemana saja kamu tidak belajar fikih!”Kata-kata dan pukulan itu tidak hanya menggetarkan tubuh Imam Syafi’i. namun menggoyahkan batinnya. Ia tertegun dan mulai merenung, untuk mengalihkan minatnya.Lalu semenjak saat itu, tersebutlah riwayat-riwayat masyhur tentang beliau. Beliau mulai berguru kepada para ulama dan mulai mendalami ilmu fikih. Menurut cerita, beliau telah hafal Alquran diusai yang masih sangat belia. Tujuh tahun, menurut cerita. Tak hanya sampai disitu, beliau juga hafal kitab Al-Muwatho’ diusianya yang ke sepuluh. Kitab setebal itu dihafal hanya dalam waktu tidak sampai sepuluh hari.Pengakuan muncul dari berbagai kalangan. Semua mengakuinya. Imam Syafi’i adalah tokoh besar. Namun yang kita tahu hanya sekilas, beliau pakar fikih. Ternyata, beliau juga memiliki kemampuan bahasa yang luar biasa. “Dialah Imam Syafi’i, hujjah dalam bahasa Arab dan ilmu-ilmu sejenisnya. Imam Syafi’i telah belajar bahasa Arab hingga sepuluh tahun,bersama dengan kenyataan kalau beliau adalah orang yang baligh dan fasih. Orang yang terlahir dengan lisan Arab.” Puji Imam Nawawi.

SAFARI PROKLAMATOR KORWIL BRAWIJAYA